"Kasihan...", lalu?
Aku mendengar banyak nyanyian tentang tangisan..
Ada juga tangisan dari mereka yang tak lagi bisa bernyanyi..
Mendaluh pelan secara lirih, berasal dari lobang kecil gelap
yang tak terjamah namun dihuni anak manusia..
Di selokan, sumur kering, gudang kardus hingga taman sampah..
disembunyikan oleh tingginya gedung pencakar langit, digelapkan oleh terangnya kemegahan bangunan mewah nan suci akan kutu..
Mereka di bawah sana menanti sepercik harapan untuk berdiri..
Mereka di kegelapan siang menunduk, bukan untuk bersembunyi namun untuk bertahan hidup..
Mereka merintih di sana bukan karena lemah, tetapi sudah lupa dengan rasa nasi hangat..
Manusia berdasi yang menunggangi benda besi beroda Empat,
angkuh telah mengolesi pagar rumahnya dengan cat berwarna seharga Empat Puluh
Ribu Rupiah..
Seakan leher mereka telah kaku untuk menoleh kesamping, sedikit saja,
melihat jijik nya hamparan manusia jalanan, sambil berkata, "kasihan mereka.."
Bukan tanpa alasan,
berbaring di atas lumpur adalah suatu 'kemurahan' hati manusia berdasi berbadan tambun, yang mengizinkan mereka tidur disana karena di atas lumpur tak ada pajak..
di kolong jembatan tak ada devisa negara yang produktif..
di kerumunan lalat, juga tak ada BUMN..
jika sudah begini, situasi apa yang lebih memungkinkan untuk berkata, "kasihan mereka..".
setelah mengasihani, lalu apa?
0 komentar:
Posting Komentar